Pulau Nias ibarat harta karun. Setiap jengkal tanahnya memiliki nilai budaya yang tinggi dengan nuansa alam yang elok. Inilah pulau di mana kekayaan budaya yang diyakini tertua di Indonesia bersanding dengan keindahan alam.
Mengunjungi Pulau Nias seakan membalik waktu ke masa 30.000 tahun silam. Situs-situs sejarah yang tersebar di beberapa lokasi akan bercerita banyak tentang peradaban masa megalit.
Sebut saja di kawasan Kota Gunung Sitoli, situs di Hilimawaliwa’a di Desa Idano Gawo, situs Baladano Laina di Mandrehe, situs Tetegewo di Hilisawoete dan saksi sejarah jaman megalitikum yang masih tersimpan di Desa Bawomataluwo. Rata-rata situs megalitikum di sini memiliki menhir, patung osa-osa, neogadi, owo-owo, dan dudukan batu bernama daro-daro.
Selama ini jika bicara tentang Pulau Nias, bayangan banyak orang hanya tentang pantai-pantai yang elok. Namun kebesaran budaya Nias lebih memiliki nilai jual.
Secara simbolik kebesaran budaya itu pernah dicantumkan dalam lembaran uang Rp 1.000 cetakan tahun 1992. Dalam uang pecahan 1000 rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia itu menunjukan sebuah budaya tradisional Nias yang bernama hombo batu atau lebih dikenal dengan lompat batu.
Hombo batu hanya salah satu fakta bahwa kebudayaan Nias berkembang sejak jaman megalitikum. Jaman di mana masyarakatnya sudah menggunakan batu untuk pemujaan dan keperluan sehari-hari, seperti menhir (batu berdiri), arca (patung raja), dolmen (meja batu) dan sakofagus (peti mati dari batu).
Gambar hombo batu di pecahan uang Rp 1.000 itu menjadi perwakilan bahwa pariwisata sejarah di Nias memiliki potensi yang teramat besar untuk dijual tidak saja bagi wisatawan lokal tapi juga hingga ke mancanegara.
Budaya Nias yang sudah berkembang sejak 30.000 tahun lalu membuat siapapun terkagum. Pasalnya, budaya ini masih bisa dinikmati hingga kini.
Berkunjung ke Nias traveler seakan diajak untuk menikmati atmosfir kehidupan masyarakat modern di jaman batu. Di mana ruang dan waktu seakan terhenti tepat di masa megalit sedang berkembang.
Beragam kegiatan bisa dilakukan traveler di Nias. Jika ingin menikmati kebesaran budaya dan peninggalan sejarah datanglah ke Desa Bawomataluo, Kecamatan Fanayama, Teluk Dalam, Kabupaten Nias Selatan. Inilah ikon wisata budaya dan menjadi ibukota desa-desa adat yang tersebar di Nias.
Mengunjungi Desa Bawomataluo, seakan sudah mewakili kunjungan ke desa-desa budaya lainnya di Nias. Namun bukan perkara mudah untuk berkunjung ke desa ini.
Tujuh puluh tujuh anak tangga terbuat dari batu alam yang tersusun rapi dengan kemiringan lebih dari 45 derajat menyambut pengunjung. Anak tangga yang sudah termakan usia hingga ratusan tahun itu masih terlihat kokoh dan kuat sekalipun dibangun tanpa campuran semen.
Bawomataluo adalah bahasa Nias yang berarti Bukit Matahari. Sebuah desa di atas bukit yang telah ada sejak berabad-abad lalu dan masih terpelihara dengan baik.
Desa yang dihuni 1.310 kepala keluarga ini masih teguh memegang adat istiadat nenek moyang. Tak ayal berbagai warisan budaya peninggalan leluhur orang Nias ada di desa adat ini. Sebut saja bangunan rumah adat tradisional (omo hada) dengan konstruksi material berbahan kayu tanpa paku, situs-situs megalitikum, tari-tarian, hingga atraksi hombo batu (lompat batu) yang terkenal itu.
Di sinilah cagar budaya dan adat Nias terpelihara dengan baik selama puluhan ribu tahun. Kampung bukit matahari terletak di atas sebuah bukit dengan ketinggian 270 meter di atas permukaan laut. Konon para leluhur orang Nias memilih tinggal di atas bukit untuk bersembunyi dari serangan musuh.
Mengingat latar belakang masyarakat Nias yang sering berperang guna memperluas serta mempertahankan teritorial kampung mereka. Pemilihan di atas bukit dirasa sangat tepat karena musuh pasti sulit menjangkaunya.
Tiba di ujung anak tangga, tepatnya di gerbang desa kita dapat menyaksikan pemandangan dengan latar belakang Desa Orahili dan pemandangan Pantai Sorake serta Teluk Lagundri di kejauhan. Pantai Lagundri dan Pantai Sorake dikenal sebagai surga surfing bagi para pecinta olah raga selancar.
Tak jauh dari gerbang desa adat Bawomataluo, deretan omo hada mulai terlihat di sisi kanan kiri jalan. Sekilas deretan omo hada tampak sama, namun jika diperhatikan akan terlihat perbedaannya, yakni pada ukuran rumah, tinggi rumah, serta jalan masuk (tangga) ke dalam rumah. Perbedaan ini didasarkan pada perbedaan golongan sosial/tingkat strata pemilik rumah.
Semakin dalam menapaki perkampungan Bawomataluo, terlihat sebuah batu setinggi 2,15 meter yang menjadi tempat untuk lompat batu (Fahombo atau Hombo Batu dalam bahasa Nias) dan rumah adat dengan atap tinggi menjulang yang disebut Omo Sebua (Rumah Raja) di sebelah kiri dan Omo Bale (Balai Desa) di sebelah kanan.
Tak hanya tenar dengan adat lompat batu. Satu lagi atraksi budaya yang bisa kita nikmati di Desa Bawomataluo adalah Tari Fataele atau tari perang. Tarian ini siap menyambut kedatangan tamu kehormatan yang singgah.
Tari perang diperagakan oleh lebih dari 50 pria, baik tua maupun muda. Mereka menggunakan pakaian tradisi berwarna hitam dan kuning, pakaian dari ijuk serta kulit pohon, aksesori berbentuk penutup kepala, tanduk kerbau yang ditancapkan di hidung, serta persenjataan lengkap seperti tombak, tameng, belati dan pedang bernama pedang Tologu. Mereka terbagi dalam dua grup yang sama-sama bertemu. Lalu saling mendekat seakan tengah bertarung, dengan maju-mundur selaras serta lari-lari kecil.
Tari perang, sesungguhnya menceritakan perihal kehidupan orang-orang Nias zaman dahulu yang sering berperang antar kampung. Permasalahannya, tidak jauh-jauh dari masalah perebutan tempat.
Senjata-senjata yang dipakai ternyata ada yang memiliki unsur mistis. Satu di antaranya yaitu pedang Tologu, yang di bagian sarung pedangnya ada bola rotan serta berisikan kemampuan gaib.
Pesona lain dari Desa Bawomataluo adalah kehadiran kursi kuno Raja Nias. Kursi ini terbuat dari batu, memiliki panjang 10 meter! Biasanya, raja menggunakannya saat menyampaikan pesan kepada bangsanya.
Selain dari tempat duduk, pengunjung juga bisa menemukan patung-patung kuno, yang digunakan untuk menyembah para dewa. Tak heran, penduduk setempat memeluk animisme saat itu dan mereka menyembah beberapa patung yang mewakili dewa-dewa.
Museum Pusaka Nias
Jika suatu museum dinilai dari harga koleksi bendanya dan nilai sejarah, maka Museum Pusaka Nias bagaikan tempat harta karun. Barang-barang di sana ditaksir ratusan juta rupiah dan peninggalan leluhur yang amat langka.
Barang-barang di dalam Museum Pusaka Nias ini seperti batu megalitikum, patung, ukiran dan pakaian yang umunrnya mencapai ratusan tahun.
Pendiri tempat penyimpanan benda bersejarah di Jalan Yos Sudarso No. 134 A Gunung Sitoli ii adalah Jaohannes Hammerle berkebangsaan Jerman. Pesona alam dan sejarah Nias membuatnya meninggalkan negaranya dan mengabdikan diri demi kelestarian sejarah
Museumnya luas, bersih dan tertata dengan rapi. Di setiap koleksi, ada informasi mengenai barang tersebut dari asal muasal hingga fungsinya dalam bahasa Indonesia dan Inggris.
Total ada 6.000 koleksi di dalam museum ini. Begitu masuk ke dalam museum, ada pedang Tologu yang bersejarah. Pedang ini dipakai oleh bangsawan dari Desa Bawodobara di Teluk Dalam, Nias Selatan. Uniknya, di pedang tersebut ditempel rago yakni bola rotan yang didalamnya berisi kekuatan magis.
Lalu, ada juga Oroba Buaya atau baju perang yang terbuat dari kulit buaya. Usut Baju perang ini justru pemberian dari Horst Krank, mantan misionaris yang pernah membantu misi gereja Protestan di Pulau Nias. Dia menyumbangkan baju perang itu saat berkunjung ke Museum Pusaka Nias di tahun 2007.
Menurut Johannes, sebelum diselamatkan, barang-barang bersejarah di dalam museumnya sempat mau dijual ke Medan atau ke Jakarta. Harganya pun tak main-main. Seperti hiasan langit-langit, dia harus mengeluarkan biaya Rp 40 juta untuk menyelamatkannya.
Selain itu, masih banyak barang peninggalan bersejarah lainnya, seperti perkakas dari batu yang digunakan masyarakat Nias pada ratusan tahun lalu untuk memasak atau menyimpan perhiasan sampai patung-patung yang dulunya 'disembah', seperti patung Siraha Horo.
Dalam informasi yang dijelaskan, orang zaman dulu yang baru kembali pulang dari perburuan kepala manusia, 'membersihkan diri' dengan melakukan ritual di depan patung Siraha Horo. Itu bertujuan untuk melepaskan kesalahan dan dosa mereka.
Traveler yang ingin menikmati pantai-pantai eksotis dan wisata sejarah di Nias bisa melalui jalur darat dan udara. Melalui jalur darat Medan - Sibolga dan dilanjutkan mengunakan kapal fery.
Sedangkan penerbangan dari Medan ke Gunung Sitoli saat ini dilayani dua maskapai, Lion Air, Wings Air dan Garuda Indonesia.
Lion Air juga melayani penerbangan langsung dari Jakarta ke Gunung Sitoli. Garuda Indonesia juga sudah melayani rute Jakarta - Gunung Sitoli tiga kali seminggu. (***)
Baca Juga